Download novel ketika mas gagah pergi dan balik


















Namun ada beberapa yang tidak menceritakan kematian. Memang dengan kisah toko yang dibuat tragis atau bahkan sangat tragis akan membuat pembaca sangat terbawa perasaan sedih. Namun jika hal ini diterapkan dalam buku yang isinya kumpulan cerpen, saya rasa jadi agak membosankan.

Namun buku ini memang lain. Saya tidak menyesal mebaca buku ini, saya jadi tahu ternyata banyak orang-orang yang menderita, dan mengasah kepekaan sosial saya. Membaca buku ini seperti menemukan air karena akhir-akhir ini saya jarang membaca novel islami namun tetap asyik, realistis dan menggugah hati. Labels: Resensi. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Bagus, lho! Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana CD para rocker yang selama ini dikoleksinya? Dengerin Lady Gaga dan teman-temannya itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger? Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak kok! Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu, walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh kasih voucher belanja yang Mas punya buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu! Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboi.

Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala! Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu. Mas Gagah cuma senyum. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.

Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang longgar. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak lucu seperti dulu. Kayaknya dia juga malas banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan.

Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu? Sama aja nggak menghargai orang! Santun meski nggak sentuhan. Itu sangat baik! Kubaca keras-keras. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya.

Hadits Bukhari Muslim! Teladan terbaik? Coba untuk mengerti dan menghargai ya, Dik Manis? Dik Manis? Coba untuk mengerti? Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah sekarang terlalu fanatik! Aku jadi khawatir. Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun, akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah!

Umurnya baru 20 tahun tapi sudah skripsi di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku pengajian di rumah temannya.

Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jins belel dan ransel kumalku.

Belum lagi rambut trondol yang tak bisa kusembunyikan, meski sudah memakai topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai mengaji. Aku nolak sambil mengancam tak mau ikut. Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu.

Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, senyum sedikit, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Mas Gagah. Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang nggak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah jarang memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan ganteng. Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keIslaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh! Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi.

Memuseumkan semua baju you can see -nya. Saudaranya bakwan atau tekwan? Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang din kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris.

Nggak -lah. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham. Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa. Mama udah kangen tuh!

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Nadia. Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah! Dari mana aja?

Bubar sekolah bukannya langsung pulang! Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina. Puisi-puisi Muhammad Iqbal tentang pemuda Islam yang tertempel rapi di dinding kamar.

Lalu empat rak koleksi buku ke-Islaman…. Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. Mas Gagah juga. Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku.

Tentang Allah, tentang Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang indah namun diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang sering jadi sasaran fitnah dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya! Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara kita di negeri sendiri banyak yang mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit, sementara di belahan bumi lainnya sedang diperangi….

Ya, Mbak Nadia juga pernah menerangkan hal demikian. Aku mengerti meski tak mendalam. Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah! Hari-hari berlalu.

Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi, meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Sebenarnya banyak hal yang belum bisa kupahami, belum bisa kuterima dari keberadaan Mas Gagah, tetapi sungguh aku tak mau kehilangan sosoknya.

Aku ingin bisa menjaga kedekatan kami selama ini. Kini tiap hari Minggu kami ke berbagai masjid, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat tabligh akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut. Kebutuhan rohaninya kapan?

Pernah Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga begitu: dipisah antara lelaki dan perempuan.

Terus bersama suvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran.

Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek! Kini tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.

Mas Gagah tersenyum. Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman pengajian beliau. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan, calon suami nanti, dan semacamnya. Aku menggelengkan kepala.

Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah! Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah! Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Bagaimana tak bangga? Dalam acara seminar umum tentang generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa!

Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar! Pembicara yang lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam aku makin kagum pada kakaknya Tika ini.

Lembut, cantik. Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir sendiri. Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran yang sama. Jadi kami sering lirik-lirikan dan senyum-senyum sendiri. Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Ada beberapa yang ingin bertanya. Yup alhamdulillah moderator memilihku! Mau nanya nih, gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah ya? Aku tak peduli. Ada banyak teman saya masuk pesantren.

Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker. Aku bingung, tapi tetap semangat. Saya mau pakai jilbab, tapi ya ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau pensiun. Lagian yang penting kan kita bisa jilbabin hati, ya ga? Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati. Mendingan nggak dong! Alasan pertama karena berjilbab adalah perintah Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat Kedua, karena jilbab merupakan identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah.

Astri Ivo, seorang artis, justru mulai menggunakan jilbab saat kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika. Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan berjilbab saya merasa lebih aman dari gangguan. Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot misalnya akan resah menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya dengan tas tangan. Nah, kalau saya naik angkot dengan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya. Ayo, lebih merdeka yang mana?

Kita tidak akan dilihat dari kurus, gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis kita…. Dengan berjilbab pada dasarnya wanita telah melakukan seleksi terhadap calon suaminya. Orang yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan untuk melamar gadis berjilbab, bukan? Jadi lakukanlah semampunya. Hati kan urusan Allah, tugas kita beramal saja dengan ikhlas.

Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek atau memaksa muslimah yang belum memakainya, malah kita harus merangkul mereka. Tunjukkan ahlak kita yang indah sebagai muslimah. Aku berdiri memberi applaus pada Mbak Nadia. Keren banget alasannya berjilbab. Huh parah! Sebel dengarnya! Kenapa harus kita yang repot menjaga pandangan mereka?

Nggak banget deh! Gerrrrrrr, para hadirin tertawa lagi. Sebagian menunjuk-nunjuk ke arahku. Tika menarik-narik ujung baju menyuruhku kembali duduk. Semua orang menoleh kepadaku yang masih berdiri. Aku salah tingkah. Mbak Nadia juga. Tika nyengir. Aku makin salah tingkah. Ishlah dalam setiap desah napas. Kita doakan ya agar Allah memberi semua kebaikan, hidayahnya kepada Gita… dan kita semua di sini. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia? Uuu, Gita mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!

Mobil kami terus berjalan, jauh sekali, melintasi entah daerah yang asing bagiku. Mas Gagah berhenti sekali di sebuah supermarket kecil. Aku mengerutkan kening melihatnya membeli makanan kering, mie instan beberapa kardus, buku dan alat-alat tulis. Mau ke mana?

Hujan turun rintik-rintik, lalu makin deras. Mobil kami susah payah masuk di jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Jalan kumuh dengan rumah-rumah triplek dan kardus berjejalan, di sebuah kolong jembatan di daerah Jakarta Utara.

Ketika hujan benar-benar reda, aku mencium aroma sampah yang kuat. Kami turun dan segera kakiku disambut cipratan air sisa hujan yang menghitam. Beberapa anak berlarian menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah mereka sumringah. Mataku basah saat mereka berebutan mencium tangan kami dan tak berhenti bercerita.

Mas Gagah memeluk, bertanya ini itu, mengajarkan beberapa hal, juga sempat bermain bersama mereka. Belum hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda-kuda ketika kemudian….

Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu berangkulan sambil mengucapkan salam. Kami berkenalan enam bulan lalu dan membuka rumah baca bagi anak-anak di sini…. Nah senpai kite palak! Yang jadi copet sudah tak ada. Yg jadi garong apalagi. Piss, Piiis, Gagah. Terimakasih bimbinganmu selama ini. Eh, yang mau ikut ngaji bertambah lagi. Baca melulu. Jadi kepintaran kadang-kadang! Sebuah mushala kecil dengan bata merah yang baru disemen.

Kemudian setengah berlari sambil tertawa, menuju mushala. Di belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil melambai-lambai mengajakku ke mushala pula. Ah, Mas Gagah…, apa lagi yang telah ia lakukan?

Mengapa akhir-akhir ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan pelangi di dada yang sesak? Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang din kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham. Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.

Mama udah kangen tuh! Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Nadia. Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab!

Itulah hidayah! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Nadia! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang! Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina. Puisi-puisi Muhammad Iqbal tentang pemuda Islam yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu empat rak koleksi buku ke-Islaman…. Buku apa sih? Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. Mas Gagah juga. Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku.

Tentang Allah, tentang Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang indah namun diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang sering jadi sasaran fitnah dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya! Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah.

Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara kita di negeri sendiri banyak yang mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit, sementara di belahan bumi lainnya sedang diperangi…. Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli. Ya, Mbak Nadia juga pernah menerangkan hal demikian. Aku mengerti meski tak mendalam. Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah.

Kayaknya aku dapat hidayah! Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi, meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Sebenarnya banyak hal yang belum bisa kupahami, belum bisa kuterima dari keberadaan Mas Gagah, tetapi sungguh aku tak mau kehilangan sosoknya.

Aku ingin bisa menjaga kedekatan kami selama ini. Kini tiap hari Minggu kami ke berbagai masjid, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat tabligh akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut. Kebutuhan rohaninya kapan? Pernah Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya.

Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga begitu: dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama suvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam.

Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek! Aku nyengir kuda. Kini tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan. Lagian belum mau deh jreng! Mas Gagah tersenyum. Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman pengajian beliau.

Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan, calon suami nanti, dan semacamnya. Aku menggelengkan kepala. Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah! Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum. Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Bagaimana tak bangga? Dalam acara seminar umum tentang generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga.

Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar! Pembicara yang lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam aku makin kagum pada kakaknya Tika ini.

Lembut, cantik. Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir sendiri. Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran yang sama. Jadi kami sering lirik-lirikan dan senyum-senyum sendiri. Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Ada beberapa yang ingin bertanya. Yup alhamdulillah moderator memilihku! Kulihat Mas Gagah tersenyum dari jauh.

Mau nanya nih, gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah ya? Hadirin kasak kusuk. Aku tak peduli. Ada banyak teman saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker. Gerrrrr, hadirin tertawa. Tika menatapku sambil geleng-geleng kepala. Aku bingung, tapi tetap semangat. Saya mau pakai jilbab, tapi ya ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau pensiun. Lagian yang penting kan kita bisa jilbabin hati, ya ga? Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati.

Mendingan nggak dong! Hadirin riuh rendah, bertepuk tangan. Moderator garuk-garuk kepala, persis Tika, di sampingku. Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab ungunya. Alasan pertama karena berjilbab adalah perintah Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat Kedua, karena jilbab merupakan identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah.

Astri Ivo, seorang artis, justru mulai menggunakan jilbab saat kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika. Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan berjilbab saya merasa lebih aman dari gangguan. Hadirin tertawa. Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot misalnya akan resah menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya dengan tas tangan. Nah, kalau saya naik angkot dengan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya.

Ayo, lebih merdeka yang mana? Hadirin tertawa lagi. Kita tidak akan dilihat dari kurus, gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis kita…. Aku menunduk. Benar juga. Hadirin manggut-manggut. Dengan berjilbab pada dasarnya wanita telah melakukan seleksi terhadap calon suaminya. Orang yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan untuk melamar gadis berjilbab, bukan? Aku menunduk lebih dalam.

Jadi lakukanlah semampunya. Hati kan urusan Allah, tugas kita beramal saja dengan ikhlas. Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek atau memaksa muslimah yang belum memakainya, malah kita harus merangkul mereka.

Tunjukkan ahlak kita yang indah sebagai muslimah. Kini semua orang bertepuk tangan. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. Jadinya ya, di pasang di kamar. Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho!

Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala.

Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok! Terlalu banyak malah! Walau bingung untuk mencernanya. Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,"Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang.

Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu! Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita!

Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala! Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu Bersih, rapi meski sederhana.

Kelihatannya juga lebih santun. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Kupikir apa sih maunya Mas Gagah? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu? Sama aja nggak menghargai orang! Santun meski nggak sentuhan.

Itu yang lebih benar! Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu Apa hubungannya? Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya.

Hadits Bukhari Muslim! Teladan terbaik? Coba untuk mengerti? Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik! Aku jadi khawatir. Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI!

Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. Ke tempat yang waktu itu lagi? Gita kayak orang bego di sana!

Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu.

Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut. Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu.

Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku



0コメント

  • 1000 / 1000